THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 24 Maret 2009

Alasan pemboman yang sebenarnya


Apabila dua butir alasan yang tertera dalam ultimatum 9 November 1945 tidak benar, apa alasan sebenarnya, yang membuat Inggris mengerahkan pasukannya yang terbesar dan termodern setelah Perang Dunia II usai?

I. Alasan psikologis-emosional.

  • Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba Burma. Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh rakyat Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Inggris.

  • Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby. Kegeraman pihak Inggris memuncak pada 10 November, karena pada saat pemboman atas kota Surabaya, dua pesawat terbang mereka berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.


Dapat dikatakan secara singkat di sini, alasan psikologis-emosional tersebut adalah:

  • sebagai “super power” pemenang Perang Dunia II, telah dipermalukan dengan terpaksa mengibarkan bendera putih, serta terancam akan hancur total;
  • sebagai tentara yang tangguh sangat dipermalukan, karena yang tewas adalah komandan brigade, seorang perwira tinggi;
  • solidaritas korps, membalas dendam.

II. Terikat Perjanjian Dengan Belanda dan Hasil Konferensi Yalta
Bahwa langkah Inggris di Indonesia, sebenarnya hanya untuk memuluskan jalan bagi Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia, sesuai dengan beberapa perjanjian, baik bilateral maupun internasional. Ketika berlangsung pertempuran melawan Inggris di Indonesia yang dimulai di Surabaya, perlahan-lahan Belanda mendatangkan pasukannya ke Indonesia, sehingga pada akhir tahun 1946, seluruh pasukan Inggris telah ditarik dan diganti oleh pasukan Belanda…dan sebagaimana kita ketahui, itulah awal dari penjajahan Belanda di Indonesia jilid dua. Penilaian mengenai tindakan Inggris ini diperoleh setelah mencermati dua hal:

(1) Salah satu hasil keputusan Konferensi Yalta (4 – 11 Februari 1945), hasil pertemuan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, adalah mengembalikan situasi di Asia seperti sebelum invasi Jepang, dalam arti mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada negara penjajah sebelumnya. Keputusan tersebut diperkuat dengan Deklarasi Potsdam, 26 Juli 1945. Hal ini terbukti dari surat Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia, kepada komandan-komandan divisi, yang isinya:

Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.

From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.

Re. Directive ASD4743S.

You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.

The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.

Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.

As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.

I wish you God speed and a sucessful campaign.

(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.


Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.” dan “……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”

menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“...mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda...”
dan
“…mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”


(2) Melaksanakan Civil Affairs Agreement (CAA), perjanjian antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani tanggal 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, yang isinya kesediaan Inggris membantu Belanda dalam upaya untuk kembali berkuasa di Indonesia. Kesepakatan 24 Agustus 1945 tersebut diperkokoh oleh Inggris dan Belanda, dalam pertemuan di Singapura tanggal 6 Desember 1945 yang dihadiri para petinggi kedua negara di Asia Tenggara. Radio San Francisco tanggal 10 Desember 1945 menyiarkan antara lain, bahwa dalam permusyawaratan di Singapura, Letnan Jenderal Christison telah mendapat kekuasaan seluas-luasnya untuk menjaga keamanan di Jawa… Christison akan menggunakan kekerasan untuk mengembalikan keamanan dan ketenteraman, supaya dapat memenuhi undang-undang dasar dan peraturan untuk Indonesia di bawah kerajaan Belanda. Di samping melampiaskan dendam mereka terhadap “para ekstremis Indonesia yang –katanya- dipersenjatai Jepang

Kelihatannya Inggris memanfaatkan “insiden Surabaya” tersebut untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan Belanda, serta menjalankan hasil keputusan Konferensi Yalta, yaitu mengembalikan situasi kepada “Status Quo” seperti sebelum invasi Jepang.

Kesimpulan
Secara moral, tanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November 1945, terletak pada Inggris, karena seluruh garis komando, dari mulai Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI), Letnan Jenderal Sir Philip Chritison, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, bahkan sampai ke komandan-komandan brigade, seluruhnya adalah bangsa Inggris. Kesalahan serta tanggungjawab Inggris dapat dibuktikan, apabila pendekatan permasalahan dilakukan dengan suatu pendekatan logis (logical approach), yaitu dengan menggunakan kaidah kausalitas (Kausalitätsgesetz: kaidah sebab-akibat) yang taat azas. Dari kronologi kejadian, dapat ditelusuri penyebab atau akar permasalahan dari sesuatu peristiwa/kejadian. Apabila ditelusuri dan diteliti satu persatu, maka rangkaian kejadian adalah sebagai berikut:
  • Mallaby tewas karena tembak-menembak di Gedung Internatio pecah lagi. Mengenai apakah dia tewas karena tembakan pistol orang Indonesia, atau karena ledakan granat dari Captain R.C. Smith, susah dibuktikan.
  • Tembak-menembak dimulai oleh Inggris atas perintah Mayor Gopal, Komandan Kompi “D”, Brigade ke 49, Divisi ke 23 “The Fighting Cock” Inggris, seperti ditulisnya tanggal 24 Agustus 1974. Menurut Tom Driberg, anggota Parlemen Inggris, perintah menembak diberikan oleh Mallaby sendiri. Perintah menembak ini, apapun alasannya jelas telah melanggar perjanjian Sukarno-Mallaby tanggal 29 Oktober dan Kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945.
  • Insiden tembak-menembak di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober adalah bagian dari Pertempuran 28/29 Oktober ‘45.
  • Pertempuran pecah tanggal 28 Oktober karena adanya pamflet tanggal 27 Oktober, yang isinya melanggar kesepakatan yang ditandatangani antara Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober. Isi Pamflet mengenai butir ini ternyata diakui sebagai kesalahan, dan dianulir dalam kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober.

0 komentar: